Kamis, 18 Februari 2010

tentang Human Trafficking

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficing sebagai berikut:

Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara)

Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafiking manusia di Indonesia. Trafiking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk kedalamnya adalah:

Faktor Penyebab Trafiking
  • Kurangnya Kesadaran: Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
  • Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.
  • Keinginan Cepat Kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafiking.
  • Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafiking:
  • Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
  • Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
  • Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
  • Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
  • Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
  • Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
  • Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.
Bentuk-Bentuk Trafiking Manusia

Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak:
  • Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.
  • Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
  • Bentuk Lain dari Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
  • Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya – terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
  • Pengantin Pesanan – terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
  • Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak – terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
  • Trafiking/penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.

Trafficking dan UU PTPPO

Meskipun KUHP (Pasal 297) telah mengancam hukuman enam tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak di bawah umur, ini dianggap tidak efektif untuk menjerat pelaku perdagangan orang atau yang lebih populer dengan istilah trafficking terorganisir. Dengan demikian, urgensi dilahirkannya UU khusus terkait dengan ini sebagai akibat dari meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisir (dan tidak terorganisir), baik yang bersifat antar-negara, maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta penghormatan terhadap hak azasi manusia. Oleh karenanya, pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana trafficking yang didasarkan pada komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama. Selain itu, peraturan perundang-undangan terkait dengan trafficking belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana trafficking.

Setelah melalui proses panjang, UU No, 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) akhirnya disahkan baru-baru ini. Berdasarkan UU ini, maka definisi perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar-agama, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Jika merujuk pada definisi di atas, maka tidak ada pembatasan bahwa perdagangan orang hanya terkait dengan jenis kelamin atau usia tertentu. Oleh karenanya, dalam rapat DPRD Sulawesi Selatan pada 21 Juni 2007 yang lalu, tidak terakomodirnya perdagangan laki-laki dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Trafficking mendapat kecaman dari anggota dewan karena Ranperda ini hanya mencakup perdagangan perempuan dan anak, dan Ranperda ini terancam dikembalikan untuk selanjutnya disempurnakan (Fajar, 22 Juni 2007). Kecaman ini cukup signifikan, mengingat tidak tercakupnya laki-laki yang juga potensil sebagai korban perdagangan menunjukkan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu. Betapa mubasirnya jika kita kemudian membuat lagi Ranperda Trafficking khusus bagi laki-laki karena tidak terakomodir pada Ranperda Trafficking untuk perempuan dan anak.

Trafficking bukanlah fenomena baru di Indonesia, dan meskipun kriminalisasi perdagangan orang ini dapat terkait dengan siapa saja, orang memang seringkali mengidentikkannya dengan perdagangan perempuan dan anak. Ini cukup beralasan karena pada banyak kasus, korban perdagangan perempuan dan anak yang lebih menonjol ke permukaan. Unicef (1998), misalnya, melaporkan bahwa jumlah anak yang dilacurkan diperkirakan berkisar antara 40.000 dan 70.000 yang tersebar di 75.106 tempat di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan lebih rentannya perempuan dan anak untuk diperdagangkan yang akhir-akhir ini semakin sering kita baca (di koran, majalah, dll) dan dengarkan (dari orang ke orang, radio dll), ataupun melihatnya di televisi di mana penculikan yang diiringi dengan trafficking menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siapa saja yang mendengarkan, melihat apalagi mengalaminya.

Penguatan Kelembagaan

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang diadopsi melalui UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, merupakan konvensi internasional yang menjadi salah satu dasar dari penerbitan UU PTPPO, selain UU No 23 tentang Perlindungan Anak dan sejumlah produk hukum lainnya yang signifikan.

Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi trafficking tercermin dengan turut ditandatanganinya Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women pada tahun 1998. Plan of Action ini merupakan konsensus bagi negara-negara di wilayah regional Asia-Pasifik dalam memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Dalam hal ini pemerintah menetapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) sebagai focal point dalam menindaklanjuti pemberantasan perdagangan perempuan. Namun, Annual Trafficking in Person Report menunjukkan, bahwa pada periode antara April 2001 dan Maret 2002, Indonesia termasuk dalam negara yang dianggap tidak memenuhi ketentuan standar minimum The Trafficking Victims Protection Act of 2000 (pencegahan, perlindungan, penindakan) dan upaya-upaya mengeliminasi perdagangan orang, padahal Indonesia termasuk dalam kategori sumber trafficking dengan peringkat Tier 3 (kategori nilai terendah), khususnya untuk perdagangan perempuan belia.

Evaluasi di atas paling tidak menstimulasi pemerintah untuk meningkatkan upaya dalam mengatasi hal ini, salah satunya dengan disahkannya UU PTPPO. Ini diikuti dengan upaya-upaya lain yang signifikan, terutama oleh Meneg PP sebagai focal point. Pertemuan Regional II Pemberdayaan Lembaga Masyarakat yang dilaksanakan di Manado, 19-21 Juni 2007 atas kerja sama antara Meneg PP dan Biro Pemberdayaan Perempuan Sulawesi Utara untuk wilayah Indonesia Timur adalah salah satu di antara upaya tersebut. Pertemuan ini dimaksudkan untuk penguatan kelembagaan dalam upaya memperkuat jaringan antar-organisasi pemerintah dan non-pemerintah agar aktivitas masing-masing dapat saling bersinergi untuk memerangi segala bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat. Penguatan kelembagaan ini merupakan bagian dari amanat UU No 21/2007 (Pasal 46) tentang pembentukan pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan korban tindak perdagangan orang yang dibuat berdasarkan “Kesepakatan Bersama” antara Meneg PP, Menteri Kesehatan dan Kepala Kepolisian RI yang ditandatangani pada tanggal 23 Oktober 2002 yang lalu.

Kasus-kasus Trafficking

Salah satu kasus trafficking yang paling menonjol di Sulawesi Selatan adalah dipulangkannya 17 perempuan belia yang berasal dari Tana Toraja yang dipekerjakan di tempat karaoke di Sandakan, Malaysia. Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan dan Koalisi Perempuan Parepare bekerja sama untuk proses pemulangan ke daerah asal mereka. Kasus-kasus trafficking anak belia yang serupa kemungkinan besar merupakan fenomena gunung es di mana kasus-kasus yang tidak/belum muncul ke permukaan jauh lebih banyak.

Pada banyak kasus, korban-korban trafficking dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di dalam maupun di luar negeri. Pada awalnya mereka dijanjikan dengan pekerjaan yang bervariasi, misalnya sebagai pelayan toko, pelayan restoran, atau pekerja rumah tangga (PRT), tapi pada kenyataannya mereka dijerat sebagai PSK. Banyak di antara korban adalah perempuan-perempuan belia. Jika ditilik area geografinya, maka untuk wilayah Sulawesi Selatan, Makassar dan Parepare merupakan daerah tujuan (destination area) sekaligus sebagai tempat transit (transit area) trafficking dalam bentuk eksploitasi seksual, tergantung dari mana mereka berasal dan kemana tujuan mereka. Sedangkan untuk tujuan ke luar negeri, mereka kebanyakan dan paling rentan dipekerjakan di negara-negara tetangga seperti, Malaysia, Singapura, Hongkong, dll.

Kasus-kasus trafficking tidak hanya terkait dengan eksploitasi seksual, tapi juga terjadi terhadap pekerja migran di kebun kelapa sawit di Malaysia. Mereka yang terjerat dalam sindikat ini adalah orang-orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga (proletarian), perempuan maupun laki-laki. Mereka direkrut oleh calo nakal yang mengiming-imingi mereka gaji yang menggiurkan, padahal mereka dijual kepada kontre (kontraktor) nakal dengan harga antara RM1.500 dan RM2.000 (antara 4 juta dan 5 juta rupiah), begitu transaksi antara calo dan kontre berlangsung, mereka yang diperdagangkan ini berada di bawah kekuasaan kontre.

Ada ekpsresi yang seringkali terdengar dalam kaitan dengan ini, yaitu ”sekali seseorang terjerat kontre (nakal), seumur hidup ia akan bekerja tanpa bayaran.” Jikapun mereka dapat terlepas dari situasi ini, hal ini dianggap sebagai sebuah keajaiban. Ini menunjukkan betapa sulitnya terlepas dari jeratan trafficking dalam bentuk perbudakan di perkebunan kelapa sawit Malaysia karena mereka diawasi secara ekstra ketat. Kesulitan ini bukan saja karena letak perkebunan yang terisolasi sehingga ketika mereka lari, besar kemungkinan mereka akan mati kelaparan di perjalanan, tetapi juga karena mereka tak berdokumen sehingga mereka sangat rentan ditangkap polisi Malaysia yang senantiasa melakukan checking. Oleh karena pekerja di kebun kelapa sawit identik dengan pekerja migran yang berasal dari Sulawesi Selatan, maka ini paling tidak menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Sulawesi Selatan untuk melakukan tindakan preventif-progresif agar korban-korban serupa tidak bertambah.

Kasus-kasus di atas hanya segelintir di antara contoh-contoh kasus yang terjadi, banyak kasus yang bahkan lebih kompleks. Trafficking telah menjadi persoalan multi-dimensional, sehingga diperlukan kerja sama berbagai pihak agar praktik-praktik trafficking tidak berkesinambungan. Kita telah memiliki UU No 21/2007, efektifkah implementasi UU ini dalam mengatasi maraknya trafficking di Indonesia?

Pencegahan Trafiking Anak Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Trafiking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks. Anak-anak yang ditrafiking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Perdagangan anak, Child Trafficking di Indonesia telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan, antara lain kita temukan dari beberapa literatur hasil penelitian Irwanto, Ph.D, Psikolog Universitas Atmajaya, Fentiny Nugroho dan Johanna Debora Imelda, yang melakukan penelitian pada tahun 2001 di empat lokasi – Pulau Bali, Jakarta, Medan, dan Pulau Batam tentang perdagangan anak yang bertujuan antara lain : menggambarkan kebijakan-kebijakan nasional yang relevan dengan masalah perdagangan anak, dan menjelaskan gejala-gejala yang dijumpai dalam perdagangan anak di Indonesia terutama Jakarta, Medan, Bali, dan Batam.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan informan meliputi pejabat pemerintah, penegak hukum, aktivis LSM, pendidik, dan akademisi, serta wartawan. Kesimpulan penelitian yang dituangkan dalam buku ”Perdagangan Anak di Indonesia,” 2001 (Irwanto, 2001:126-134) adalah : Karena kompleksnya masalah perdagangan anak, maka perlu upaya menggalang kerja sama melalui kemitraan yang menjadi satu-satunya cara yang harus dikembangkan di masa datang supaya penanganan masalah ini menjadi lebih efektif.

Mengatasi permasalahan perdagangan anak tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah kemitraan yang diperkuat oleh peraturan pemerintah, paling tidak keputusan menteri untuk bersama-sama menangani masalah perdagangan anak. Kesimpulan lain salah satu faktor pendorong perdagangan anak adalah ketidak-mampuan sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Petugas kelurahan dan kecamatan yang membantu pemalsuan KTP anak yang diperdagangkan juga menjadi faktor pendorong utama perdagangan anak. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan instrumen hukum atau kebijakan yang lebih ketat secara efektif mencegah pemalsuan KTP.

Penelitian tentang anak yang dilacurkan yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya dan Yayasan Kusuma Buana menyimpulkan bahwa faktor pendorong anak terlibat dalam perdagangan anak – dilacurkan, antara lain disebabkan oleh kemiskinan ; utang-piutang; riwayat pelacuran dalam keluarga; permisif dan rendahnya kontrol sosial; rasionalisasi; dan stigmatisasi. Penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan di Jakarta dan Indramayu dengan informan yang terdiri anak - PSK, orang tua anak, konsumen, calo (kecil dan besar), broker, germo, dan petugas desa. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam buku ”Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak Yang Dilacurkan di Indonesia,” yang diterbitkan oleh ILO tahun 2002 (Andri (ed), 2002:95:101).

Penelitian International Labor Organization (ILO) tentang Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia pada tahun 2002, yang kemudian hasilnya dipublikasikan melalui buku ”Bunga-Bunga Di Atas Padas : Fenomena Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia,” menyimpulkan tidak tertutup kemungkinan pada penyaluran ”Pekerja Rumah Tangga Anak” terjadi trafiking anak. Hal ini setidaknya diindikasikan dengan terdapatnya Pekerja Rumah Tangga Anak yang ketika berangkat dari kampungnya, tidak untuk dijadikan sebagai Pekerja Rumah Tangga, tetapi dipekerjakan di tempat lain yang tidak sesuai dengan perjanjian semula (Pandji Putranto, dkk., 2004:190) .

Norma-norma Hukum Penghapusan Perdagangan Anak Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB 1948 ; memuat hak-hak setiap manusia. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tidak secara tegas berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya anak, tetapi Deklarasi ini sebagai suatu deklarasi yang menegaskan setiap individu mempunyai hak bebas, yang secara mendasar terbebas dari trafiking.

Konvensi Hak Anak 1989 ; secara tegas mengatur hak anak yang berbeda dengan orang dewasa. Pada pasal 34 dan 35 Konvensi ini berkaitan langsung dengan penentangan terhadap eksploitasi seksual, perlakuan salah secara seksual, dan perdagangan anak.

Opsional Protokol Konvensi Hak Anak terhadap Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak ; Indonesia belum meratifikasinya. Akan tetapi Protokol ini tidak berkait langsung dengan penghapusan perdagangan anak, tetapi lebih penentangan terhadap prostitusi dan pornografi anak.

KILO 182 Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terpuruk Anak ; penggunaan anak dalam prostitusi dan pornografi dianggap sebagai bentuk pekerjaan terpuruk anak. Konvensi ini sangat berkait erat dengan pekerja anak, sedangkan perdagangan anak tidak termasuk. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan UU No. 1 tahun 2000.

Protokol untuk Mencegah Memberantas dan Menghukum Perdagangan Manusia Terutama Anak yang Melengkapi Konvensi PBB untuk Melawan Kejahatan Terorganisir antar Negara ; secara tegas menegaskan definisi perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Pada Protokol ini secara tegas menyebutkan anak “berarti setiap orang yang usianya di bawah delapan belas tahun.”

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini mengatur secara tegas tentang perdagangan anak.

Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak Keppres No. 88 Tahun 2002 ; lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak. Trafficking in Persons Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menempatkan Indonesia pada peringkat ke-tiga (tetapi pada laporan 2005 menjadi pertingkat ke-dua) dalam upaya penanggulangan perdagangan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai (1) negara yang memiliki korban dalam “jumlah yang besar,” (2) pemerintahannya belum sepenuhnya menerapkan “standar-standar minimum” serta (3) tidak atau belum melakukan “usaha-usaha yang berarti” dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan anak.

Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak Kepres No. 88 Tahun 2002 ; dibentuk melalui Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002. Tujuan umum Gugus Tugas ini adalah terhapusnya segala bentuk perdagangan anak. Untuk Gugus Tugas di daerah, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Departemen Dalam Negeri Nomor 560/1134/PMD/2003 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa focal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan anak melalui penyelenggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan :

Tujuan
a. Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak.
b. Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di daerah.
c. Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja.
d. Mengalokasikan dana APBD untuk keperluan kegiatan.

Pengertian
Perdagangan anak yang dipahami dalam makalah ini perdagangan manusia: “Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan berupa pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.

Trafiking, menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi.
Pelaku trafiking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Menurut ICMC/ACIL, beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antara lain (ICMC/ACIL-Mimpi Yang Terkoyak, 2005):
  1. Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri;
  2. Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi
  3. Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur;
  4. Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya;
  5. Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong;
  6. Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan
  7. Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman;

Mengapa Trafiking Anak Perlu Dicegah
Penelitian ILO-IPEC tahun 2003 di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat memperkuat bahwa trafiking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orang tua rentan dieksplotasi oleh trafiker. Disamping diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong. Anak-anak yang ditrafiking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Luruh Duit
Luruh duit atau pelacuran menurut Tata Sudrajat, Ahli Manajemen Sosial alumni Universitas Indonesia, merupakan salah satu masalah besar yang di¬ha¬da¬pi Kab. Indramayu sejak dulu sampai sekarang. Ini yang membuat In¬dramayu dikenal sebagai daerah pengirim pelacur di Indonesia. Menurut Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Ker¬ja Indramayu, tahun 1999 terdapat 1.530 pelacur. Tahun 2001 meningkat menjadi 1.752 orang pelacur, 25 persen berusia di bawah 18 tahun.

Makna Luruh Duit
  1. Tujuan dari warga yang ‘luruh duit’ menurut Tata Sudarajat adalah untuk mencari kesugihan (kekayaan). Kekayaan ini tergambarkan sebagai suatu kesenangan, supaya ekonominya tercukupi dan tidak kalah dengan orang lain, status sosialnya terangkat dan untuk masa depan yang lebih baik, serta supaya dapat membahagiakan seluruh keluarganya terutama orang tuanya, sehingga secara otomatis akan mendapat penghargaan dari orang-orang sekitarnya dan kebanggaan diri.
  2. Tujuan memperoleh kekayaan, disebabkan oleh dorongan ekonomi karena tidak punya (miskin) dan (untuk) kerja lain membutuhkan tenaga yang berat, atau tidak punya sawah.
  3. Kekayaan – kekayaan diwujudkan dengan rumah yang bagus dibandingkan dengan yang tidak luruh duit, juga berbeda dari orang kaya biasa seperti petani.
  4. Kegagalan memperoleh kekayaan disikapi dengan penerimaan bahwa hal itu sebagai takdir atau nasib buruk. Biasanya mereka berhenti sementara kemudian mencari cara lagi untuk meraih kesuksesan. Beberapa cara merespon kegagalan adalah: (s) Mencari dukun yang ampuh; (b) Operasi plastik; (c) Menjadi kuli, menjadi PRT dan mencari suami
  5. Luruh duit merupakan kebiasaan turun temurun. Sebagai kebiasaan turun temurun, luruh duit menjadi sesuatu yang terbuka dan diterima masyarakat, bahkan masyarakat sangat menerimanya
  6. Selama ini tidak ada sanksi sosial karena dinilai sudah tradisi.
  7. Masyarakat sudah menyadari sebagai kejahatan tetapi ada juga yang menganggapnya tidak demikian. Masyarakat memandang luruh duit bukan suatu kejahatan, melainkan sebuah pekerjaan. Luruh duit sudah tidak dianggap sesuatu yang salah, bahkan menjadi kebanggaan. Luruh duit mudah memperoleh uang dan tidak ada sanksi apapun baik dari pemerintah maupun masyarakat.
  8. Luruh duit tidak melanggar hukum dan apabila ada penipuan dari calo atau germo selalu tidak berdaya karena kekuatan ke¬kuasaan germo dan anak buahnya. Jadi masyarakat tidak menuntut, hanya mengikuti keinginan germo. Dan aparat terkait tidak peduli akan adanya penipuan – penipuan yang dilakukan calo dan germo.
  9. Luruh duit sudah tidak memper¬hitung¬kan halal atau haram. Mereka menikmati kesenangan tanpa memikirkan kehidupan akhirat kelak. Mereka yang luruh duit tidak ke masjid, jarang beramal, tetapi ada juga mantan pelacur yang sudah hajjah yang menyumbang pembangunan masjid.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Luruh Duit

Faktor Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor pendorong utama yang mempengaruhi terjadinya luruh duit, akan tetapi hal ini bukan satu-satunya faktor, karena ada pula warga dan anak-anak yang meskipun miskin, tetapi tidak melakukan luruh duit. Umumnya mereka hanya bekerja sebagai buruh tani dan berpendidikan SD. Bagi warga yang miskin, melakukan luruh duit, dianggap sebagai jalan untuk mengatasi kemiskinan dimana mereka memperoleh keuntungan sekaligus. Pertama, bebas dari kewajiban memenuhi kebutuhan hidup anak atau isteri yang luruh duit dan kedua, memperoleh keuntungan finansial.

Faktor Gaya Hidup ‘Hajatan’
Sekalipun umumnya miskin, tetapi masyarakat setempat mempunyai gaya hidup hajatan yang biasanya harus dilengkapi dengan hiburan, kecuali warga yang sangat miskin. Acara ini biasanya terjadi pada musim panenan, ketika mereka memperoleh pendapatan lumayan dan sekaligus merupakan acara syukuran. Setiap acara hajatan, seperti perkawinan, sunatan, ataupun rasulan (sunatan bagi anak perempuan), hiburan harus selalu ada. Jenis hiburan menunjukkan tingkat status sosial ekonomi orang tua. Kelas atas adalah hiburan orkes dangdut, khas tarling Indramayuan atau Cirebonan. Kelas menengah dengan sandiwara, dan kelas bawah cukup organ tunggal.

Faktor Eksploitasi Terhadap Anak
Anak-anak tidak hanya berada dalam situasi lingkungan yang buruk, tetapi mereka pun dipandang tidak sesuai jika diukur dari hak-hak anak. Orang tua masih memandang bahwa perempuan hanya berada di wilayah domestik. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena pada akhirnya hanya kembali ke rumah, ke dapur, sumur, dan kasur melayani suami. Akibatnya angka putus sekolah tinggi. Anak perempuan kemudian menjadi TKW, pelacur, pelayan café, atau PRT.

Berdasarkan uraian tersebut terjadi eksploitasi terhadap anak oleh orang tua yang ditandai dengan:
a. Perempuan berada di wilayah domestik sehingga tidak perlu bersekolah tinggi.
b. Anak adalah aset keluarga.
c. Menjadikan anak sebagai pelacur tidak dipahami sebagai kejahatan: tidak ada contoh kasus orang tua diadili karena melacurkan anaknya.
d. Kebiasaan melacurkan anaknya

Faktor Permintaan akan Pelacur
Luruh duit tidak semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor pendorong, tetapi juga karena faktor permintaan pelacur. Permintaan pelacur merupakan kebutuhan untuk mengisi industri seks yang cenderung menjadikan anak-anak sebagai sasaran utama. Luruh duit dimungkinkankarena adanya peran calo dan germo ini. Jaringan kerja calo dan germo di YY sebagai desa pemasok pelacuran tergambarkan berikut ini.

Berdasarkan uraian tersebut, pengaruh permintaan akan pelacur mempengarui luruh duit ditandai dengan:
  1. Calo dan germo merupakan bagian dari jaringan perdagangan anak untuk pelacuran yang menyediakan calon-calon luruh duit untuk memenuhi permintaan akan pelacur.
  2. Permintaan pelacur merupakan kebutuhan untuk mengisi industri seks yang cenderung menjadikan anak-anak sebagai sasaran utama.
  3. Calo dan bahkan germo adalah warga satu desa dengan calon luruh duit sehingga mempermudah informasi, pengiriman, dan komunikasi calo dan calon pelacur.
  4. Calo dan germo mempunyai modal uang yang besar yang dapat memenuhi kebutuhan akan uang warga yang miskin segera.
  5. Calo dan germo sangat aktif mencari calon luruh duit karena secara finansial menguntungkan mereka. Semua beban biaya proses perekrutan dan pengiriman dibebankan kepada warga yang luruh duit sebagai utang. Hal ini menunjukkan faktor eksploitasi terhadap anak.
Bagaimana Pencegahan Trafiking Anak

Kebijakan dan Program Pemerintah Kabupaten Indramayu mengenai prostitusi tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Prostitusi yang diperbaharui Perda No. 4 Tahun 2001 (Bagian Hukum Setda Kabupaten Indramayu, 2002: 1 –8). Perda tersebut memuat 10 pasal, antara lain ; larangan untuk mendirikan atau mengusahakan serta menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi, larangan untuk melakukan, menghubungkan, dan mengusahakan, dan menyediakan orang untuk melakukan perbuatan prostitusi, sanksi hukuman kurungan baik perempuan maupun laki-laki yang melakukan prostitusi selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).


Upaya Masyarakat
Dengan dukungan ILO, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation di Kabupaten Indramayu. Tujuan dari program ini adalah :
  1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan di dua kecamatan;
  2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar;
  3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan;
  4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri;
  5. Merubah sikap dan pola fikir keluarga dan masyarakat terhadap trafiking anak.
Inti program ini mencegah anak-anak perempuan dilacurkan dengan mengupayakan :
1. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun non formal,
2. Pemberian peluang kerja, dan
3. Penyadaran masyarakat untuk mencegah perdagangan anak untuk pelacuran.